Sejak abak mati karena kerja rodi sebagai seorang anak aku bertekat untuk menjadi anak yang berguna. Membela ibuku. Niat itu kusampaikan pada ibu setelah dia kembali dari kota Gede, dan segera ibu merobah namaku dari si Buyung menjadi “Gunawan”.Anak yang berguna.
Kemudian, setelah Islam masuk, tanpa setahuku ibu memberikan nama tambahan di depan namaku itu dengan “Muhammad”. Dan setelah aku menaiki pelaminan, orang-orang memanggil gelarku “Malin”, maksudnya mungkin orang yang soleh.
Maka pergilah aku merantau. sewaktu aku pulang sebentar melihat ibu, aku sempat bertanya kepadanya: “Mak, kenapa sewaktu Belanda masuk atau Jepang datang namaku tidak ditambah pula dengan “Albert atau Yamaguci” misalnya. Ibuku menjadi marah dan dia menggerutu. Mamakmu sendiri bergelar Datuk Bana Tan Tapo, tetapi secuil pun tak pernah dia berusaha menegakkan kebenaran dan takutnya pada orang kalau diuji pendapatnya bukan main.
Sekarang kau sudah dipanggil orang si Malin. Padahal apa yang kau kerjakan di rantau menjadi “pancacak” !?. O !, kalau begitu tahulah aku kini. Tampaknya antara nama dan gelar seperti tidak ada hubungan sama sekali dengan tingkah laku dan perbuatan.
II. Merantau Cina
Sewaktu aku akan pergi merantau, ibuku berpesan: “Malin, jangan lah kamu merantau Cina. Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak, lebih baik juga negeri awak”. Aku mengangguk mengiyakan.
Tapi sewaktu orang-orang Cina sudah mulai membeli tanah pusaka kami, ibuku segera mengirim surat kilat khusus yang isinya: “Malin, merantaulah seperti Cina !. Beli tanah dimana saja. Tanah pusaka kita ternyata telah dikapling-kapling mereka !”.
Surat kilat khusus itu dibaca istriku, Puti Manih Talonsong (sebelum menjadi isteriku, nama kecilnya Cian Phao). Setelah surat itu dibacanya, dia tersenyum. “Jangan tanahmu, kau sendiri kan sudah ku kapling jauh sebelum itu”
Maaf mamak Datuk !, kata aku kepada mamakku, aku terpaksa kawin dengan Puti Manih Talonsong itu karena aku dulu jadi anak semang Baba Laweh, bapaknya.
III. Anak dipangku Kemanakan… ?
Restoran “Bim Bing” suasananya enak dan remang-remang. Aku pelanggan restoran itu tanpa setahu Cian Phao, soalnya ada Puti Basusual Intan disana. Aku yakin dia sama asal atau sekampung dengan ku, tapi separo mati pula dia bertahan mengatakan tidak. Dalam pertengkaran itu aku pangku dia habis-habisan. Tiba-tiba seorang tua tertelungkup di depan kami, pingsan. Seteleh ditelentangkan, Puti Basusual Intan terperanjat “Ayahku !” teriaknya. Kuraba kepala yang pingsan itu. Ternyata dia Datuk Bana Tan Tapo mamakku. Rupanya dia jatuh pingsan melihat aku begitu penuh nafsu memangku Puti Basusual Intan.
Insiden kecil ini di jadikan Head Line Surat Kabar “Datuk Bana Tan Tapo pingsan karena Anak dipangku kemanakan di Bim Bing” ?.
Pada mulanya insiden, akhirnya menjadi petuah adat sampai sekarang gara-gara wartawan.
IV. “Rumah Gadang bapaga Adat”
Aku sudah mengirimkan sejumlah uang berkali-kali sebagaimana yang diminta mamakku Dt. Bana Tan Tapo untuk menyiapkan “rumah gadang” kaum kami. Kemudian ibuku mengirim surat pula supaya mengirimkan uang lagi untuk membuat pagar rumah gadang itu. Semuanya aku penuhi. Tapi sewaktu aku pulang ke kampung melihat rumah gadang itu, ternyata tidak ada pagar atau tanda akan diberi pagar. segera kutemui mamakku Dt. Bana Tan Tapo menanyakan kenapa pagar belum juga dibikin sedangkan uangnya sudah dikirim lebih. “Rumah gadang bapagar Adat” Malin !, bukan berpagar besi seperti rumah sekarang !, jawabnya tenang.
Dan uang yang telah kukirimkan digunakan buat apa ?, kan buat bikin pagar !, kataku kesal.
Sambil menangis merangkulku dia berbisik “Kau saja sanggup beristeri sampai lima, pada hal kau belum jadi Datuk !”. Aku bingung !.
“Uangmu telah kugunakan untuk kawin lagi, gengsi kalau penghulu seperti aku tidak punya banyak isteri, sepertinya aku tidak laku !”.
Mungkin inilah sebabnya rumah gadang di Minangkabau semakin berkurang, kalau kemanakan di rantau selalu mengirimkan uang disalah gunakan oleh mamaknya.
V. “Masyarakat Ilmiah”
Datuk-datuk yang selalu mengadakan rapat atau sidang di Balai Adat mempunyai tata cara tersendiri. Setiap kata harus dijelaskan arti dan maksudnya supaya tidak terjadi kesalah pengertian. Dan bagi yang memberikan jawaban, mengulang kembali penjelasan itu dan setelah disepakati bahwa arti dan maksudnya sama, baru persoalan dilanjutkan.
Jika sekiranya yang dibicarakan tentang perkawinan, terlebih dahulu disamakan pendapat tentang “kawin” itu, apa yang dilakukan bila kawin, kawin cara siapa dan seterusnya. Setelah itu baru persoalan dilanjutkan “siapa yang akan kawin”, bagaimana kawinnya, dimana dan kapan ? dan seterusnya.
Kadang-kadang rapat itu hanya membicarakan tentang sebuah durian yang jatuh ke halaman orang lain, terpaksa mereka rapat sampai lima atau enam hari. Repot !, tapi kata Datukku itu adalah sikap ilmiah. Semua harus punya rujukan yang jelas. Kalau mengutip pendapat orang lain harus di konfirmasikan sampai benar-benar diakui sebagai pendapat, bukan pendapat kita. Aku mengangguk membenarkan.
Sewaktu dia tersinggung karena aku kawin lagi sedangkan isterinya sebagai Datuk baru tiga, dia memakiku; “Anjiang kamu Malin !”.
Aku tenang saja, tapi ketenangan ku membuat kemarahannya melimpah ruah; “Hei Malin ! Hanya Datuk yang boleh bersiteri banyak ! Kau telah menghina semua Datuk yang ada di negeri ini !” “Anjing !, Anjiang kau !”, suaranya semakin serak dan akhirnya menangis.
Setelah reda kemarahannya lalu ku katakan, bahwa kita harus bersikap ilmiah. Kita ini masyarakat ilmiah. Segala sesuatunya harus jelas. Jika mamak Datuk mengatakan anjing, supaya dijelaskan anjingnya anjing apa, kurapan atau hitam, jantan atau betina dan turunan anjiang apa !?
Tiba-tiba dia berdiri; “Baik !”, katanya dengan geram. Tubuhnya bergoyang menahan kemarahannya. “Anjiang kamu !
Anjing kumbang !
Anjing milik Datuk Perpatih Nan Sabatang !
Yang menggigit dubalang Datuk Ketumanggungan !.
Tapi anjing tidak dihukum !
Yang namanya anjing ! Tentu tidak dimakan hukum !
Hanya anjing yang memakan hukum !
Akhirnya Dt. Bana Tan Tapo mamakku tertawa terpingkel-pingkel sendiri.
Wisran Hadi(dikutip dari “Majalah Adat dan Kebudayan Minangkabau LIMBAGO”, terbitan Desember 1986)